Kamis, 05 Juli 2012

RESUME LOGIKA


Tugas Resume Mata Kuliah Logika Semester II
BAB VII
DEFINISI

Definisi adalah suatu “pembatasan pengertian” yang hendak menyatakan dan memperlihatkan dengan tepat dan singkat semua unsur-unsur hakiki dari suatu benda.
A.      Pembagian Definisi
1.      Definisi Nominal
Ialah menghubungkan atau merangkaikan suatu pengertian yang tertentu, dengan sebuah kata. Definisi nominal dapat dilakukan dengan berbagai cara :
a.       Dengan mengupas etimologi atau asal-usul sebuah kata atau istilah.
Contoh :
Filsafat (filosofia)
filo                  = cinta
sofia                = kebijaksanaan
Jadi filosofia   = cinta akan kebijaksanaan.
b.      Definisi nominal dengan kata-kata sinonim
Contoh :
arca          = patung
nirwana    = surga
c.       Definisi nominal itu juga harus menentukan dalam arti kata apa istilah ini umum dipakai orang banyak, arti kata dalam kamus.
Contoh :
Locomotif : sebuah kereta mesin penarik kereta api.

2.      Definisi Real atau Definisi Benda
Definisi yang menunjukkan realitas dengan mengemukakan corak-corak atau unsur-unsur yang menyusun benda itu. Definisi real dibedakan :
a.       Definisi hakiki atau esensial sungguh-sungguh menyebutkan hakikat atau esensi suatu benda.
Contoh :
Manusia adalah animal-rational.
b.      Definisi gambaran atau descrip, definisi yang menyebutkan accidens-accidensnya barang itu, hingga barang itu dapat kita bedakan dengan barang lain.
Contoh :
Manusia itu berkaki dua, bertangan dua, tidak berekor, berkepala tegak, berambut, dan sebagainya.
c.       Definisi benda yang menunjukkan asal maksud bentuk.
Contoh :
Pesawat terbang adalah buah teknik yang konstruksinya sedemikian rupa, sehingga jika mesin-mesin di dalamnya dijalankan, niscaya bergerak ke angkasa.
d.      Definisi dengan menunjuk sebab-sebab.
Contoh :
Gerhana bulan adalah hilangnya sinar bulan karena bumi masuk antara bulan dan matahari.

B.       Hukum-hukum Definisi
1.      Definisi harus dapat dibolak-balik dengan benda yang didefinisikan. Jadi harus sama luas.
Contoh :
Segitiga adalah bidang yang dibatasi oleh tiga buah garis.
2.      Definisi tidak boleh negatif.
Contoh :
Manusia itu bukan tumbuh-tumbuhan.
3.      Benda yang hendak didefinisikan tidak boleh masuk dalam definisi.
Contoh :
Logika adalah pengetahuan yang menerangkan hukum-hukum logika.
4.      Definisi harus lebih terang daripada apa yang didefinisikan.
5.      Definisi harus tepat, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang dari apa yang didefinisikan.

















BAB VIII
BATASAN, KEBENARAN DAN KESEHATAN

A.      Pengantar
Apa yang telah dibicarakan dalam bagian depan adalah logika sebagai ajaran berpikir, logika sebagai teknik berpikir yang lurus dan bermaksud untuk mencapai kebenaran. Logika inilah yang biasa juga disebut “logika formal”. Sedang logika-logika yang lainnya biasanya ada yang diberi nama lain, misalnya kritika/epistemologi/logika material. Logika material inilah yang akan menjadi bahan pembicaraan dalam bagian ini.

B.       Definisi Logika Material
Logika material adalah ilmu berpikir yang memperhatikan materi dari pengetahuan dengan menentukan cara-cara yagn harus ditaati , agar dengan tepat dan cepat mencapai kebenaran. Logika ini dibagi menjadi :
1.      Kritika yang menyelidiki harga pikiran
2.      Metodologi, membahas metode-metode yang digunakan dalam pengetahuan.
Sampai sekarang kita hanya mempelajari syarat-syarat untuk berpikir dengan lurus, tepat, menurut bangun yang syah. Akan tetapi meskipun kita telah mengerti syarat-syarat itu, kadang-kadang kita masih dapat sesat, kerap kali keliru, menerima yang palsu sebagai yang benar. Sebab itu kita lebih dahulu harus mengerti apa yang disebut “benar”, apa yang disebut “palsu“ dan apa yang disebut “sofistis” (yang merupakan kepalsuan, tapi seakan-akan benar atau dalam baju kebenaran).

C.      Tentang Benar
Kebenaran dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.      Kebenaran Ontologis adalah suatu kebenaran yang menunjukkan keadaan nyatanya dari barang-barang atau individu-individu sebagaimana adanya kesesuaian dengan ide yang menjadi sumbernya. Barang-barang adalah benar, selama barang-barang itu “berbentuk sama” dengan ide-ide yang terkandung di dalamnya.
2.      Kebenaran Logis adalah suatu kebenaran yang menunjukkan kesesuaian dari akal atau budi dengan barang-barang, artinya sesuai dengan kebenaran ontologis dari barang-barang itu. Atau dengan kata lain, cocoknya pengertian dengan barang-barang yang dimengerti, artinya apabila penilaian kita sesuai dengan keadaan yang nyata ada.
Pembedaan yang lain tentang benar juga terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ada tiga macam hal yang dapat dikatakan benar atau palsu. Ketiga hal itu, yaitu :
1.      Pengertian atau kenalan
Pengertian atau kenalan dikatakan benar, apabila cocok dengan realitasnya. Kebenaran ini disebut juga kebenaran logik.
2.      Kata
Kata disebut benar, apabila cocok dengan pengertiannyaatau cocok dengan batinnya. Kebenaran kata ini boleh pula disebut kesungguhan.
3.      Barang atau Benda
Barang disebut benar, apabila :
a.       Cocok dengan pengertian yang menjadikan kodrat barang itu. (kebenaran ontologis).
b.      Kalau serasi buat memberi pengertian yang benar kepada budi kita (kebenaran logis).

D.      Keadaan Budi Kita Terhadap Kebenaran
Budi kita di dalam menghadapi kebenaran dapat berada dalam empat keadaan :
1.      Bahwa yang benar itu di dalam budi kita dapat “berbentuk tidak ada”. Keadaan yang semacam ini disebut kurang tahu/ketidaktahuan/ignoratia. Hal ini dibedakan :
a)      Ketidak tahuan itu bersifat dapat diatasi (vincibilis) artinya dapat dibikin tahu. Dibedakan lagi menjadi 2, yaitu :
1)      Im-putabilis adalah ketidaktahuan yang dapat membuat orang menjadi salah. Yaitu bila orang harus mengatasi ketidaktahuannya tetapi tidak tahu mengatasinya. Maka orang ini adalah salah. Contoh :
Warga negara Indonesia harus mengerti Pancasila. Tapi kalau dengan sengaja tidak mau tahu, maka ia salah.
2)      Non-imputabilis adalah ketidaktahuan yang tidak membuat orang menjadi salah, yaitu orang tidak wajib mengatasi ketidaktahuannya itu. Contoh :  orang biasa dapat saja mengetahui bagaimana cara-cara mengemudi kapal terbang. Tetapi seandainya dia tidak berusaha mengetahuinya, maka sebagai orang biasa ia tidak bersalah.
b)      Ketidak tahuan ini bersifat tidak dapat diatasi (in-vincibilis) artinya tidak dapat dibikin tahu.
2.      Bahwa yang benar itu di dalam budi kita dapat “berbentuk sesuatu yang semata-mata mungkin”. Keadaan yang semacam ini disebut keragu-raguan/kesangsian/dubium. Kesangsian ini dibedakan :
a)      Spontan (voluntarium) tanpa memeriksa atau menelaah motif-motif dengan sengaja tidak mengakui dan memungkiri.
b)      Refleks (deliberatum) adalah kesangsian akibat dari pemeriksaan motif-motif yagn sama berat. Jadi timbulnya itu setelah ada penelaahan antara pro dan kontra.
c)      Metodis (methodicum) dengan sengaja menyangsikan kebenaran yang telah diakui dengan maksud agar dinilai kembali.
d)     Umum (universal) sangsi akan segala sesuatu. Setiap penegasan dianggap belum pasti .
3.      Bahwa yang benar itu di dalam budi kita “berkesan mungkin sekali”. Keadaan yang semacam ini disebut pendapat/sangkaan/opinio.
Probabilitas ini dibedakan :
a)      Probabilitas mathematica (kemungkinan matematis)
Kemungkinan-kemungkinan sudah diperiksa semua, hingga dapat dinyatakan dalam bilangan pecahan. Misalnya : dalam satu kotak terdapat telur itik 25 butir dan telur ayam 75 butir. Maka apabila kita mengambil telur dari dalam kotak tidak dengan memillih, kemungkinan mendapat telur itik adalah ¼ .
b)      Probabilitas moral (kemungkinan di bidang moral)
Hal ini tergantung dari kebiasaan makhluk berbudi bekerja, yaitu dalam peristiwa-peristiwa, dalam mana kemerdekaan bertindak dari manusia memegang peranan. Misal : barangkali ia orang jujur.
4.      Bahwa yang benar itu di dalam budi kita dapat “berbentuk sesuatu yang nyata-nyata (evident)”. Keadaan semacam ini disebut kepastian/ketentuan/certitudo. Kepastian ini dibedakan :
a)      Atas dasar motifnya
1)      Metaphysica (metafisis)
Apabila didasarkan pada hakikat/esensi dari barang-barangnya sedemikian rupa, sehingga pengakuan yang sebaliknya dalam formanya sendiri adalah mustahil dan tak dapat dimengerti.
2)      Physica (fisis)
Apabila didasarkan hukum alam kodrat atau pengalaman-pengalaman yang sedemikian rupa, sehingga pengakuan yang sebaliknya adalah palsu, tapi walaupun begitu tidak atau belum mustahil.
3)      Moralis (moral)
Apabila didasarkan hukum-hukum psikologi atau kesusilaan.
b)      Atas dasar caranya kita mendapat ketentuan/kepastian
1)      Directa (langsung)
Apabila kepastian itu dicapai dengan pengertian langsung dari barang yang dipikirkan, tidak melalui pembuktian. Misal : apa yang nyata itu ada.
2)      Indirecta (tidak langsung)
Apabila kepastian itu dicapai melalui suatu pembuktian. Misal : Jumlah sudut-sudut dari suatu segitiga adalah sama dengan dua buah sudut siku-siku.
3)      Interna (batin) dan Externa (lahir)
Apabila kepastian itu dicapai melalui peninjauan atas barang itu sendiri atau melalui kewibawaan dari orang yang meninjaunya. Contoh : dua ditambah dua adalah empat.

E.       Kesesatan atau Kepalsuan (dwaling/error)
1.      Kesesatan adalah ketidaksesuaian dari penilaian dengan barang-barang. Putusan kita tidak cocok dengan realitasnya.
2.      Sebab-sebab :
a)      Sebab logis adalah akibat dari kelemahan-kelemahan alamiah budi, kurang tajam dalam berpikir, kurang perhatian dan kelemahan ingatan.
b)      Sebab moral : kesombongan, enaknya sendiri, dan keteledoran.
3.      Syarat-syarat untuk memberantas kesesatan
a)      Logis, dengan teliti menggunakan aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir.
b)      Moral, cinta akan kebenaran, percaya kepada pikiran sendiri dengan tidak berat sebelah dengan tujuan mencari kebenaran.

F.       Sophisme
1.      Definisi
Sophisme adalah pemikiran yang tampaknya saja lurus, runtut dan sah, tetapi karena menyimpang dari hukum-hukm berpikir, maka dari itu menghasilkan suatu kesesatan.
2.      Klasifikasi Sophisme
a)      Sophisme dengan perkataan, terjadi oleh perkataan-perkataan yang sama, tetapi artinya tidak sama. Dibedakan :
1)      Dwi-tafsiran. Misal :
-          Bulan adalah waktu tiga puluh hari.
-          Bula itu bersinar di langit.
2)      Kekeliruan antara bagian dengan keseluruhannya. Misal :
-          Empat dan dua itu enam.
-          Jadi empat adalah enam, dan dua adalah enam.
3)      Metaphora (kiasan). Misal :
-          Ia menghormati arca Kristus.
-          Arca Kristus adalah batu biasa.
-          Jadi ia menghormati batu biasa.
b)      Sophisme dengan pengertian atau barangnya, kesesatan penyimpulan yang dikarenakan oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan pengertian dari barang-barangnya. Dibedakan :
1)      Sophisme induksi
(a)    Dengan mengelirukan accidens dengan hakikatnya. Misal :
-          Obat ini ternyata tidak berhasil.
-          Obat ini yang memberi adalah dokter.
-          Jadi dokter adalah penipu.
(b)   Apabila tidak tahu akan sebabnya, sehingga barang yang hanya mendahului saja. Misal :
-          Orang yang kehabisan darah, mati.
-          Jadi darah itu adalah sumber hidup.
(c)    Sebab kurang jumlah pengalaman. Misal :
-          Hakim ini dapat disogok.
-          Hakim itu dapat pula disogok.
-          Jadi hakim-hakim itu dapat disogok.
(d)   Sebab analogi yang salah. Misal :
-          Bulan adalah planet seperti halnya bumi.
-          Bumi didiami makhluk-makhluk hidup.
-          Jadi bulan didiami oleh makhluk-makhluk hidup.
2)      Sophisme deduksi
(a)    Pembalikan yang salah dan perlawanan yang tidak sah. Contoh :
-          Harimau itu binatang pemakan daging.
-          Jadi semua binatang pemakan daging adalah harimau.
(b)   Tidak tahu perkaranya. Contoh :
-          Bangsa Indonesia suka kerja sama dengan negara lain.
-          Jadi tidak suka merdeka.
(c)    Petitio principii (kembali pada permulaan). Contoh :
-          Pikiran adalah produksi dari otak.
-          Jadi pikiran adalah sifat pada jasmaniah yang organis.
(d)   Circulus vitiosus (pengutaran lingkaran)
-          Tuhan itu Maha Bijaksana. Jadi dunia ini teratur rapi.
-          Dunia ini teratur rapi. Jadi Tuhan adalah Maha Bijaksana.
3.      Pemberantasan Shopisme
a.       Sophisme dengan perkataan dapat dihapuskan dengan cara membatasi dengan tetap arti perkataan-perkataan itu.
b.      Sophisme dengan pengertian itu disebabkan oleh bahannya. Satu premis atau dua premis dapat salah atau berarti dobel.







BAB IX
KRITERIUM

A.  Kriterium Ketentuan
Kriterium adalah tanda atau “titikan” yang dapat membedakan suatu barang dari barang lain, jadi dapat menyatakan kepada kita, bahwa barang itu adalah barang itu sendiri bukan barang lain. Dengan pertanda atau “titikan” ini kita berarti juga memperoleh kepastian atau ketentuan. Jadi kriterium ketentuan adalah tanda atau “titikan” yang dapat membedakan ketentuan yang sejati dari kepalsuan.
Kriterium yang dibicarakan dalam logika adalah kriterium yang tertinggi (kriterium kepastian atau ketentuan). Kriterium ini adalah fondamen dari segala macam ketentuan, sehingga tidak memungkinkan lagi pertanda atau “titikan” yang lain.

B.  Kriterium Evidensi
Kriterium kebenaran tertinggi dan motif terakhir dari semua ketentuan adalah evidensi.
1.      Hakikat evidensi
Evidensi adalah keterangan yang sejelas-jelasnya, di mana kebenaran menonjolkan dirinya kepada budi kita, sehingga terpaksa disetujui atau diakui.
a)      Evidensi ini adalah sebagai sinar matahari bagi mata badan.
b)      Evidensi itu adalah motif yang mendorong budi kita untuk mengakui kebenaran itu.
2.      Evidensi adalah motif tertinggi dan terakhir dari kebenaran.
Semua yang eviden adalah mutlak benar dan segala sesuatu yang benar adalah mutlak dan hanya itu sajalah eviden, yaitu nampak dengan terang benderang.
a)      Segala sesuatu yang eviden adalah benar
1)      Pembuktian dari hakikatnya
2)      Evidensi bersifat umum, artinya ia merupakan ciri dari setiap kebenaran, tidak peduli dengan cara bagaimana didapatkannya.
b)      Segala sesuatu yang benar dan hanya yang benar itu adalah eviden
Dalam hal ini tidak berarti bahwa semua kebenaran terus dapat kita lihat dalam satu saat, sehingga kita tidak pernah mempunyai kesangsian, opini, kekeliruan dan lain sebagainya. Tetapi itu berarti bahwa segala yang benar itu di dalamnya mengandung tanda yang dapat membedakan dirinya dari yang palsu.





















BAB X
KRITIKA


A.      Pengertian Kritika
Kritika adalah pengetahuan yang memeriksa apakah pengetahuan (kennis) kita itu sesuai dengan realitas dan bagaimanakah kesesuaiannya itu. Atau : pengetahuan yang memeriksa atau meneliti harga dari pengetahuan (kennis) itu.

B.       Sejarah Kritika
Lahirnya kritika sebab adanya ajaran-ajaran yang tidak banyak “mengandung” pertentangan. Ajaran-ajaran yang berusaha memecahkan soal itu dan bertentangan satu sama lain diantaranya adalah :
1.      Apakah budi dan alat indera dapat mengenal atau mengetahui barangnya.
a)      Jawab dari ilmu Realisme : Dapat
b)      Jawab dari ilmu Idealisme : Tidak
2.      Kita memperoleh pengetahuan itu hanya dengan pikiran melulu atau dengan pengalaman saja ataukah dengan kedua-duanya.
a)      Jawab dari Positivisme dan Agnoticisme : Dengan pengalaman melulu.
b)      Jawab dari Rationalisme atau Intelektualisme : Dengan pikiran melulu.
c)      Jalan tengah : Dengan kedua-duanya.
3.      Tentang tetapnya pengetahuan (certitudo)
a)      Menurut dogmatisme : Terus percaya dengan adanya ketetapan atau certitudo itu.
b)      Menurut skepitisme : Sangsi akan adanya certitudo.
c)      Menurut krisisisme : Certitudo itu harus diperiksa lebih dahulu, sebelum kita menerimanya.
d)     Setelah kita mengetahui ajaran-ajaran yang bertentangan satu sama lain, maka persoalan yang timbul ialah : Apakah pengetahuan (kennis) kita dapat mencapai Realitas?
Pengetahuan (kennis) dibedakan sebagai berikut :
1.      Pengetahuan (kennis) keinderaan
2.      Pengetahuan (kennis) budian.

C.      Pentingnya Kritika
1.      Ilmu Positivisme : ilmu ini hanya berpegangan pada alat indera (sensus), yang dapat ditangkap dengan alat indera hanya barang-barang material. Ilmu ini menelorkan materialisme. Seorang positivis atau materialis yang konsekuen tidak menerima adanya : Tuhan, jiwa manusia, dan sebagainya.
2.      Ilmu Rationalisme : ilmu ini hanya berpegangan pada pikiran melulu. Bangsa rationalis hanya mau menerima yang dimengerti sendiri. Konsekuensinya orang rationalis tidak mau menerima adanya wahyu Tuhan, sebab hal itu tidak dapat dimengerti.
3.      Ilmu Dogmatisme : terus percaya saa, tanpa diperiksa terlebih dahulu. Orang semacam ini percaya barang yang mustahil : Nini Blorong, Nyai Roro Kidul, dan lain sebagainya.
4.      Budi dan Indera : kekuatan mengenal pada manusia itu ada dua macam : mengenal dengan alat indera dan mengenal dengan budi. Pengenalan dengan alat indera itu berorgan, maka dari itu disebut organis, objek-objek pengenalan dengan alat indera ini adalah barang-barang material. Budi tidak berorgan. Objek pengenalan budi adalah barang-barang rohani. Tugas alat indera melayani tugas budi.
Kesulitan-kesulitan dan Cara-cara Mengatasinya
Kritika bermaksud menyelidiki pengetahuan (kennis) kita agar dapat menentukan benar tidaknya. Hal ini adalah pekerjaan yang sulit, sebab yang menyelidiki adalah satu dan sama, yaitu budi. Budi bekerja memeriksa pekerjaannya sendiri. Tapi budi ternyata dapat juga melakukan sebab budi itu mempunyai kemampuan untuk melakukan refleksi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

good article, makasih ; numpang copy ya