Tugas Resume Mata Kuliah Logika Semester II
BAB VII
DEFINISI
Definisi adalah suatu “pembatasan
pengertian” yang hendak menyatakan dan memperlihatkan dengan tepat dan singkat
semua unsur-unsur hakiki dari suatu benda.
A.
Pembagian Definisi
1.
Definisi Nominal
Ialah menghubungkan atau merangkaikan suatu pengertian
yang tertentu, dengan sebuah kata. Definisi nominal dapat dilakukan dengan
berbagai cara :
a.
Dengan mengupas
etimologi atau asal-usul sebuah kata atau istilah.
Contoh
:
Filsafat
(filosofia)
filo =
cinta
sofia =
kebijaksanaan
Jadi filosofia =
cinta akan kebijaksanaan.
b.
Definisi nominal
dengan kata-kata sinonim
Contoh
:
arca =
patung
nirwana =
surga
c.
Definisi nominal
itu juga harus menentukan dalam arti kata apa istilah ini umum dipakai orang
banyak, arti kata dalam kamus.
Contoh
:
Locomotif
: sebuah kereta mesin penarik kereta api.
2.
Definisi Real
atau Definisi Benda
Definisi yang menunjukkan realitas dengan
mengemukakan corak-corak atau unsur-unsur yang menyusun benda itu. Definisi
real dibedakan :
a.
Definisi hakiki
atau esensial sungguh-sungguh menyebutkan hakikat atau esensi suatu benda.
Contoh
:
Manusia
adalah animal-rational.
b.
Definisi
gambaran atau descrip, definisi yang menyebutkan accidens-accidensnya barang
itu, hingga barang itu dapat kita bedakan dengan barang lain.
Contoh
:
Manusia
itu berkaki dua, bertangan dua, tidak berekor, berkepala tegak, berambut, dan
sebagainya.
c.
Definisi benda
yang menunjukkan asal maksud bentuk.
Contoh
:
Pesawat
terbang adalah buah teknik yang konstruksinya sedemikian rupa, sehingga jika
mesin-mesin di dalamnya dijalankan, niscaya bergerak ke angkasa.
d.
Definisi dengan
menunjuk sebab-sebab.
Contoh
:
Gerhana
bulan adalah hilangnya sinar bulan karena bumi masuk antara bulan dan matahari.
B.
Hukum-hukum Definisi
1.
Definisi harus
dapat dibolak-balik dengan benda yang didefinisikan. Jadi harus sama luas.
Contoh
:
Segitiga
adalah bidang yang dibatasi oleh tiga buah garis.
2.
Definisi tidak
boleh negatif.
Contoh
:
Manusia
itu bukan tumbuh-tumbuhan.
3.
Benda yang
hendak didefinisikan tidak boleh masuk dalam definisi.
Contoh
:
Logika
adalah pengetahuan yang menerangkan hukum-hukum logika.
4.
Definisi harus
lebih terang daripada apa yang didefinisikan.
5.
Definisi harus
tepat, tidak boleh lebih, tidak boleh kurang dari apa yang didefinisikan.
BAB VIII
BATASAN,
KEBENARAN DAN KESEHATAN
A.
Pengantar
Apa yang telah dibicarakan dalam bagian depan adalah
logika sebagai ajaran berpikir, logika sebagai teknik berpikir yang lurus dan
bermaksud untuk mencapai kebenaran. Logika inilah yang biasa juga disebut
“logika formal”. Sedang logika-logika yang lainnya biasanya ada yang diberi
nama lain, misalnya kritika/epistemologi/logika material. Logika material
inilah yang akan menjadi bahan pembicaraan dalam bagian ini.
B.
Definisi Logika Material
Logika material adalah ilmu berpikir yang memperhatikan
materi dari pengetahuan dengan menentukan cara-cara yagn harus ditaati , agar
dengan tepat dan cepat mencapai kebenaran. Logika ini dibagi menjadi :
1.
Kritika yang
menyelidiki harga pikiran
2.
Metodologi,
membahas metode-metode yang digunakan dalam pengetahuan.
Sampai sekarang kita hanya mempelajari syarat-syarat
untuk berpikir dengan lurus, tepat, menurut bangun yang syah. Akan tetapi
meskipun kita telah mengerti syarat-syarat itu, kadang-kadang kita masih dapat
sesat, kerap kali keliru, menerima yang palsu sebagai yang benar. Sebab itu
kita lebih dahulu harus mengerti apa yang disebut “benar”, apa yang disebut
“palsu“ dan apa yang disebut “sofistis” (yang merupakan kepalsuan, tapi
seakan-akan benar atau dalam baju kebenaran).
C.
Tentang Benar
Kebenaran dibedakan menjadi 2, yaitu :
1.
Kebenaran
Ontologis adalah suatu kebenaran yang menunjukkan keadaan nyatanya dari
barang-barang atau individu-individu sebagaimana adanya kesesuaian dengan ide
yang menjadi sumbernya. Barang-barang adalah benar, selama barang-barang itu
“berbentuk sama” dengan ide-ide yang terkandung di dalamnya.
2.
Kebenaran Logis
adalah suatu kebenaran yang menunjukkan kesesuaian dari akal atau budi dengan
barang-barang, artinya sesuai dengan kebenaran ontologis dari barang-barang
itu. Atau dengan kata lain, cocoknya pengertian dengan barang-barang yang
dimengerti, artinya apabila penilaian kita sesuai dengan keadaan yang nyata
ada.
Pembedaan yang
lain tentang benar juga terdapat dalam percakapan sehari-hari. Ada tiga macam
hal yang dapat dikatakan benar atau palsu. Ketiga hal itu, yaitu :
1.
Pengertian atau
kenalan
Pengertian
atau kenalan dikatakan benar, apabila cocok dengan realitasnya. Kebenaran ini
disebut juga kebenaran logik.
2.
Kata
Kata
disebut benar, apabila cocok dengan pengertiannyaatau cocok dengan batinnya.
Kebenaran kata ini boleh pula disebut kesungguhan.
3.
Barang atau
Benda
Barang
disebut benar, apabila :
a.
Cocok dengan
pengertian yang menjadikan kodrat barang itu. (kebenaran ontologis).
b.
Kalau serasi
buat memberi pengertian yang benar kepada budi kita (kebenaran logis).
D.
Keadaan Budi Kita Terhadap Kebenaran
Budi kita di dalam menghadapi kebenaran dapat berada
dalam empat keadaan :
1.
Bahwa yang benar
itu di dalam budi kita dapat “berbentuk tidak ada”. Keadaan yang semacam ini
disebut kurang tahu/ketidaktahuan/ignoratia. Hal ini dibedakan :
a)
Ketidak tahuan
itu bersifat dapat diatasi (vincibilis)
artinya dapat dibikin tahu. Dibedakan lagi menjadi 2, yaitu :
1)
Im-putabilis adalah
ketidaktahuan yang dapat membuat orang menjadi salah. Yaitu bila orang harus
mengatasi ketidaktahuannya tetapi tidak tahu mengatasinya. Maka orang ini
adalah salah. Contoh :
Warga
negara Indonesia harus mengerti Pancasila. Tapi kalau dengan sengaja tidak mau
tahu, maka ia salah.
2)
Non-imputabilis adalah
ketidaktahuan yang tidak membuat orang menjadi salah, yaitu orang tidak wajib
mengatasi ketidaktahuannya itu. Contoh :
orang biasa dapat saja mengetahui bagaimana cara-cara mengemudi kapal
terbang. Tetapi seandainya dia tidak berusaha mengetahuinya, maka sebagai orang
biasa ia tidak bersalah.
b)
Ketidak tahuan
ini bersifat tidak dapat diatasi (in-vincibilis)
artinya tidak dapat dibikin tahu.
2.
Bahwa yang benar
itu di dalam budi kita dapat “berbentuk sesuatu yang semata-mata mungkin”.
Keadaan yang semacam ini disebut keragu-raguan/kesangsian/dubium. Kesangsian
ini dibedakan :
a)
Spontan (voluntarium) tanpa memeriksa atau
menelaah motif-motif dengan sengaja tidak mengakui dan memungkiri.
b)
Refleks (deliberatum) adalah kesangsian akibat
dari pemeriksaan motif-motif yagn sama berat. Jadi timbulnya itu setelah ada
penelaahan antara pro dan kontra.
c)
Metodis (methodicum) dengan sengaja menyangsikan
kebenaran yang telah diakui dengan maksud agar dinilai kembali.
d)
Umum (universal) sangsi akan segala sesuatu.
Setiap penegasan dianggap belum pasti .
3.
Bahwa yang benar
itu di dalam budi kita “berkesan mungkin sekali”. Keadaan yang semacam ini
disebut pendapat/sangkaan/opinio.
Probabilitas
ini dibedakan :
a)
Probabilitas mathematica (kemungkinan matematis)
Kemungkinan-kemungkinan
sudah diperiksa semua, hingga dapat dinyatakan dalam bilangan pecahan. Misalnya
: dalam satu kotak terdapat telur itik 25 butir dan telur ayam 75 butir. Maka
apabila kita mengambil telur dari dalam kotak tidak dengan memillih,
kemungkinan mendapat telur itik adalah ¼ .
b)
Probabilitas moral (kemungkinan di bidang moral)
Hal
ini tergantung dari kebiasaan makhluk berbudi bekerja, yaitu dalam
peristiwa-peristiwa, dalam mana kemerdekaan bertindak dari manusia memegang
peranan. Misal : barangkali ia orang jujur.
4.
Bahwa yang benar
itu di dalam budi kita dapat “berbentuk sesuatu yang nyata-nyata (evident)”.
Keadaan semacam ini disebut kepastian/ketentuan/certitudo. Kepastian ini
dibedakan :
a)
Atas dasar
motifnya
1)
Metaphysica (metafisis)
Apabila
didasarkan pada hakikat/esensi dari barang-barangnya sedemikian rupa, sehingga
pengakuan yang sebaliknya dalam formanya sendiri adalah mustahil dan tak dapat
dimengerti.
2)
Physica (fisis)
Apabila
didasarkan hukum alam kodrat atau pengalaman-pengalaman yang sedemikian rupa,
sehingga pengakuan yang sebaliknya adalah palsu, tapi walaupun begitu tidak
atau belum mustahil.
3)
Moralis (moral)
Apabila
didasarkan hukum-hukum psikologi atau kesusilaan.
b)
Atas dasar
caranya kita mendapat ketentuan/kepastian
1)
Directa (langsung)
Apabila
kepastian itu dicapai dengan pengertian langsung dari barang yang dipikirkan,
tidak melalui pembuktian. Misal : apa yang nyata itu ada.
2)
Indirecta (tidak
langsung)
Apabila
kepastian itu dicapai melalui suatu pembuktian. Misal : Jumlah sudut-sudut dari
suatu segitiga adalah sama dengan dua buah sudut siku-siku.
3)
Interna (batin)
dan Externa (lahir)
Apabila
kepastian itu dicapai melalui peninjauan atas barang itu sendiri atau melalui
kewibawaan dari orang yang meninjaunya. Contoh : dua ditambah dua adalah empat.
E.
Kesesatan atau Kepalsuan (dwaling/error)
1.
Kesesatan adalah
ketidaksesuaian dari penilaian dengan barang-barang. Putusan kita tidak cocok
dengan realitasnya.
2.
Sebab-sebab :
a)
Sebab logis
adalah akibat dari kelemahan-kelemahan alamiah budi, kurang tajam dalam
berpikir, kurang perhatian dan kelemahan ingatan.
b)
Sebab moral :
kesombongan, enaknya sendiri, dan keteledoran.
3.
Syarat-syarat
untuk memberantas kesesatan
a)
Logis, dengan
teliti menggunakan aturan-aturan atau hukum-hukum berpikir.
b)
Moral, cinta
akan kebenaran, percaya kepada pikiran sendiri dengan tidak berat sebelah
dengan tujuan mencari kebenaran.
F.
Sophisme
1.
Definisi
Sophisme
adalah pemikiran yang tampaknya saja lurus, runtut dan sah, tetapi karena
menyimpang dari hukum-hukm berpikir, maka dari itu menghasilkan suatu kesesatan.
2.
Klasifikasi
Sophisme
a)
Sophisme dengan
perkataan, terjadi oleh perkataan-perkataan yang sama, tetapi artinya tidak
sama. Dibedakan :
1)
Dwi-tafsiran.
Misal :
-
Bulan adalah
waktu tiga puluh hari.
-
Bula itu
bersinar di langit.
2)
Kekeliruan
antara bagian dengan keseluruhannya. Misal :
-
Empat dan dua
itu enam.
-
Jadi empat
adalah enam, dan dua adalah enam.
3)
Metaphora (kiasan).
Misal :
-
Ia menghormati
arca Kristus.
-
Arca Kristus
adalah batu biasa.
-
Jadi ia
menghormati batu biasa.
b)
Sophisme dengan
pengertian atau barangnya, kesesatan penyimpulan yang dikarenakan oleh
masalah-masalah yang berhubungan dengan pengertian dari barang-barangnya.
Dibedakan :
1)
Sophisme induksi
(a)
Dengan
mengelirukan accidens dengan hakikatnya. Misal :
-
Obat ini
ternyata tidak berhasil.
-
Obat ini yang
memberi adalah dokter.
-
Jadi dokter
adalah penipu.
(b)
Apabila tidak
tahu akan sebabnya, sehingga barang yang hanya mendahului saja. Misal :
-
Orang yang
kehabisan darah, mati.
-
Jadi darah itu
adalah sumber hidup.
(c)
Sebab kurang
jumlah pengalaman. Misal :
-
Hakim ini dapat
disogok.
-
Hakim itu dapat
pula disogok.
-
Jadi hakim-hakim
itu dapat disogok.
(d)
Sebab analogi
yang salah. Misal :
-
Bulan adalah
planet seperti halnya bumi.
-
Bumi didiami
makhluk-makhluk hidup.
-
Jadi bulan
didiami oleh makhluk-makhluk hidup.
2)
Sophisme deduksi
(a)
Pembalikan yang
salah dan perlawanan yang tidak sah. Contoh :
-
Harimau itu
binatang pemakan daging.
-
Jadi semua
binatang pemakan daging adalah harimau.
(b)
Tidak tahu
perkaranya. Contoh :
-
Bangsa Indonesia
suka kerja sama dengan negara lain.
-
Jadi tidak suka
merdeka.
(c)
Petitio principii
(kembali pada permulaan). Contoh :
-
Pikiran adalah
produksi dari otak.
-
Jadi pikiran
adalah sifat pada jasmaniah yang organis.
(d)
Circulus vitiosus
(pengutaran lingkaran)
-
Tuhan itu Maha
Bijaksana. Jadi dunia ini teratur rapi.
-
Dunia ini teratur
rapi. Jadi Tuhan adalah Maha Bijaksana.
3.
Pemberantasan
Shopisme
a.
Sophisme dengan
perkataan dapat dihapuskan dengan cara membatasi dengan tetap arti
perkataan-perkataan itu.
b.
Sophisme dengan
pengertian itu disebabkan oleh bahannya. Satu premis atau dua premis dapat
salah atau berarti dobel.
BAB IX
KRITERIUM
A.
Kriterium Ketentuan
Kriterium adalah tanda atau “titikan” yang dapat
membedakan suatu barang dari barang lain, jadi dapat menyatakan kepada kita,
bahwa barang itu adalah barang itu sendiri bukan barang lain. Dengan pertanda
atau “titikan” ini kita berarti juga memperoleh kepastian atau ketentuan. Jadi
kriterium ketentuan adalah tanda atau “titikan” yang dapat membedakan ketentuan
yang sejati dari kepalsuan.
Kriterium yang dibicarakan dalam logika adalah
kriterium yang tertinggi (kriterium kepastian atau ketentuan). Kriterium ini
adalah fondamen dari segala macam ketentuan, sehingga tidak memungkinkan lagi
pertanda atau “titikan” yang lain.
B.
Kriterium Evidensi
Kriterium kebenaran tertinggi dan motif terakhir
dari semua ketentuan adalah evidensi.
1.
Hakikat evidensi
Evidensi
adalah keterangan yang sejelas-jelasnya, di mana kebenaran menonjolkan dirinya
kepada budi kita, sehingga terpaksa disetujui atau diakui.
a)
Evidensi ini
adalah sebagai sinar matahari bagi mata badan.
b)
Evidensi itu
adalah motif yang mendorong budi kita untuk mengakui kebenaran itu.
2.
Evidensi adalah
motif tertinggi dan terakhir dari kebenaran.
Semua
yang eviden adalah mutlak benar dan segala sesuatu yang benar adalah mutlak dan
hanya itu sajalah eviden, yaitu nampak dengan terang benderang.
a)
Segala sesuatu
yang eviden adalah benar
1)
Pembuktian dari
hakikatnya
2)
Evidensi
bersifat umum, artinya ia merupakan ciri dari setiap kebenaran, tidak peduli
dengan cara bagaimana didapatkannya.
b)
Segala sesuatu
yang benar dan hanya yang benar itu adalah eviden
Dalam
hal ini tidak berarti bahwa semua kebenaran terus dapat kita lihat dalam satu
saat, sehingga kita tidak pernah mempunyai kesangsian, opini, kekeliruan dan
lain sebagainya. Tetapi itu berarti bahwa segala yang benar itu di dalamnya
mengandung tanda yang dapat membedakan dirinya dari yang palsu.
BAB X
KRITIKA
A.
Pengertian Kritika
Kritika adalah pengetahuan yang memeriksa apakah
pengetahuan (kennis) kita itu sesuai
dengan realitas dan bagaimanakah kesesuaiannya itu. Atau : pengetahuan yang
memeriksa atau meneliti harga dari pengetahuan (kennis) itu.
B.
Sejarah Kritika
Lahirnya kritika sebab adanya ajaran-ajaran yang
tidak banyak “mengandung” pertentangan. Ajaran-ajaran yang berusaha memecahkan
soal itu dan bertentangan satu sama lain diantaranya adalah :
1.
Apakah budi dan
alat indera dapat mengenal atau mengetahui barangnya.
a)
Jawab dari ilmu
Realisme : Dapat
b)
Jawab dari ilmu
Idealisme : Tidak
2.
Kita memperoleh
pengetahuan itu hanya dengan pikiran melulu atau dengan pengalaman saja ataukah
dengan kedua-duanya.
a)
Jawab dari Positivisme dan Agnoticisme : Dengan pengalaman melulu.
b)
Jawab dari Rationalisme atau Intelektualisme : Dengan pikiran melulu.
c)
Jalan tengah :
Dengan kedua-duanya.
3.
Tentang tetapnya
pengetahuan (certitudo)
a)
Menurut dogmatisme : Terus percaya dengan adanya
ketetapan atau certitudo itu.
b)
Menurut skepitisme : Sangsi akan adanya
certitudo.
c)
Menurut krisisisme : Certitudo itu harus
diperiksa lebih dahulu, sebelum kita menerimanya.
d)
Setelah kita
mengetahui ajaran-ajaran yang bertentangan satu sama lain, maka persoalan yang
timbul ialah : Apakah pengetahuan (kennis)
kita dapat mencapai Realitas?
Pengetahuan (kennis) dibedakan sebagai berikut :
1.
Pengetahuan
(kennis) keinderaan
2.
Pengetahuan
(kennis) budian.
C.
Pentingnya Kritika
1.
Ilmu Positivisme
: ilmu ini hanya berpegangan pada alat indera (sensus), yang dapat ditangkap
dengan alat indera hanya barang-barang material. Ilmu ini menelorkan
materialisme. Seorang positivis atau materialis yang konsekuen tidak menerima
adanya : Tuhan, jiwa manusia, dan sebagainya.
2.
Ilmu
Rationalisme : ilmu ini hanya berpegangan pada pikiran melulu. Bangsa
rationalis hanya mau menerima yang dimengerti sendiri. Konsekuensinya orang
rationalis tidak mau menerima adanya wahyu Tuhan, sebab hal itu tidak dapat
dimengerti.
3.
Ilmu Dogmatisme
: terus percaya saa, tanpa diperiksa terlebih dahulu. Orang semacam ini percaya
barang yang mustahil : Nini Blorong, Nyai Roro Kidul, dan lain sebagainya.
4.
Budi dan Indera
: kekuatan mengenal pada manusia itu ada dua macam : mengenal dengan alat
indera dan mengenal dengan budi. Pengenalan dengan alat indera itu berorgan,
maka dari itu disebut organis, objek-objek pengenalan dengan alat indera ini
adalah barang-barang material. Budi tidak berorgan. Objek pengenalan budi
adalah barang-barang rohani. Tugas alat indera melayani tugas budi.
Kesulitan-kesulitan
dan Cara-cara Mengatasinya
Kritika bermaksud menyelidiki pengetahuan
(kennis) kita agar dapat menentukan benar tidaknya. Hal ini adalah pekerjaan
yang sulit, sebab yang menyelidiki adalah satu dan sama, yaitu budi. Budi
bekerja memeriksa pekerjaannya sendiri. Tapi budi ternyata dapat juga melakukan
sebab budi itu mempunyai kemampuan untuk melakukan refleksi.
1 komentar:
good article, makasih ; numpang copy ya
Posting Komentar